Home » » Sejarah Fotografi Bag 1

Sejarah Fotografi Bag 1

Istilah ‘fotografi’ berasal dari bahasa Yunani yang mempunyai dua kata yaitu “foto” dan “grafi” foto berarti cahaya dan grafi berarti menulis atau melukis, sehingga “fotografi” dapat diartikan sebagai “melukis dengan cahaya”.
Dalam fotografi, kehadiran cahaya adalah mutlak perlu, karena mulai dari pemotretan hingga pencetakan film menjadi foto kedua-duanya membutuhkan cahaya.

Menurut catatan sejarah, asal muasal fotografi “ditemukan” secara kebetulan oleh Ibn Al Haitam pada abad ke-10, bahwa pada salah satu dinding tendanya terlihat suatu gambar, yang setelah diselidiki ternyata berasal dari sebuah lubang kecil pada dinding tenda yang berhadapan di dalam tendanya itu. Ternyata pula bahwa gambar tersebut sama dengan pemandangan yang berada di luar tenda, hanya posisinya terjungkir balik, pohon-pohon kurma dengan daun-daunnya berada di bawah, sedangkan badan/batang dan tanah berada di atas (hal ini kemudian diketahui berdasarkan cahaya selalu melintas lurus, sesuai ilmu alam).

Pada abad ke-13, Roger Bacon juga ‘memergoki’ hal serupa di ruang kerjanya; namun baru pada abd ke-15, Leonardo da Vinci memanfaatkan fenomena alam tersebut untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat. Ciptaannya yang terkenal adalah CAMERA OBSCURA (camera=kamar ; obscura=gelap), merupakan cikal bakal kamera yang kita kenal sekarang (penyebutan ‘kamera’ berarti kamera-foto, kamera untuk membuat foto/memotret), tetapi di saat itu, camera obscura betul-betul berupa sebuah kamar gelap dengan salah satu dindingnya dibuatkan sebuah lubang kecil, kemudian di tengah ruang didirikan “dinding” lain dari kertas setengah tembus cahaya untuk menampung gambaran yang tercipta dan berasal dari lubang kecil tersebut, untuk kemudian dijiplak dengan menggunakan alat tulis. Dari kamar gelap tersebut, kemudian diciptakan “kamar gelap” miniatur yang lebih praktis. Pada bagian yang berlubang ditambahkan sebuah lensa, di bagian dalam dipasangkan selembar cermin dengan posisi 45 derajat untuk memantulkan gambaran yang tercipta oleh lensa ke arah atas yang ditutupi selembar kaca bening. Penjiplakan gambar menjadi lebih praktis, juga berkat dipergunakannya sebuah lensa, gambar yang terbentuk menjadi lebih kecil dari wujud aslinya, malah dengan memaju-mundurkan posisi lensa, ketajaman gambar dapat diatur sesuai jarak sasaran terhadap “kamar gelap” tersebut.
Kamera lubang jarum dan daguerrotype Perkembangan lain dari camera obscura yang diminiaturkan adalah kamera lubang jarum (pinhole camera). Kamera ini berupa sebuah kotak dengan salah satu dindingnya dilubangi, dan pada dinding seberangnya dipasangkan kaca buram untuk melihat gambar yang terbentu. Kemudian lubang tersebut dipasangkan sebuah lensa untuk meningkatkan mutu gambar. Dengan hanya berpegang pada fenomena alam, fotografi takkan mencapai tujuan.

Berkat penemuan Heinrich Schulze (1727) mengenai bahan-bahan tertentu, misalnya garam perak yang peka terhadap cahaya, dan warnanya yang semula putih dapat berubah menjadi hitam bila terkena cahaya, fotografi mulai menapak ke arah yang dituju. Thomas Wedgwood (1802) menemukan juga hal serupa, namun kedua-duanya tidak berhasil menjadikan perubahan warna tersebut permanen. Baru pada tahun 1826, Joseph Nicephore Niepce berhasil menjadikan warna hitam itu permanen, ia berhasil membuat semacam klise di atas lembaran timah dengan cara mencelupkan lembaran timah tersebut, yang sebelumnya telah dilaburi bahan peka cahaya dan telah dicahayai, ke dalam larutan asam; namun ia tak sempat melakukan percobaan lebih lanjut karena sakit dan kekurangan biaya. Berkat persahabatannya dengan Louis Daguerre, seorang pelukis yang kaya raya, beberapa percobaannya kemudian dilanjutkan, malah akhirnya diteruskan oleh Daguerre sendiri setelah Niepce meninggal dunia. Selama 11 tahun Louis Daguerre melakukan percobaan-percobaan lanjutan, akhirnya pada tahun 1839, dengan mempergunakan bahan-bahan kimia yang tidak pernah dicoba oleh Niepce,

Daguerre berhasil membuat bahan peka cahaya yang lebih praktis dan dikenal sebagai Daguerrotype, suatu pelat tembaga yang pada satu permukaannya dilaburi bahan peka cahaya. Daguerrotype ini berfungsi sebagai filem dan sekaligus menjadi foto-jadi. Pembuatan daguerrotype ini cukup rumit. Mula-mula pelat tembaga dilapisi perak pada salah satu sisinya, kemudian digosok sedemikian rupa, sehingga terlihat seperti cermin, baru setelah itu permukaannya dilaburi bahan kimia peka cahaya. Bahan kimia tersebut tidak eprnah kering benar, dan dalam pemakaian, ia langsung dipasangkan pada kamera dikamar gelap. Setelah pelat tercahayai, lalu dikembangkan dengan cara diberi uap merkuri yang sedang mendidih, sampai gambarnya timbul. Untuk menjadikan gambarnya permanen, pelat tersebut dicelupkan ke dalam larutan hipo, lalu dicuci dengan air. Karena permukaannya yang menyerupai cermin, daguerrotype ini sulit untuk dipandang dari depan. Kemengkilapannya menyebabkan setiap orang yang memandanginya akan terlihat dirinya pula, ‘berimpitan’ dengan gambar/foto yang dilihatnya. Maka untuk dapat melihatnya dengan baik, harus dari arah agak pinggir, misalnya dari sudut 60-70 derajat. Ada kalanya yang terlihat berupa gambaran negatif, karena pengaruh semacam polarisasi. Permukaan ‘foto’ senantiasa agak lembab, maka foto-foto daguerrotype
harus dilindungi dengan bingkai kaca. Kendala lain adalah kepekaannya amat rendah, sehingga dibutuhkan pencahayaan maha panjang antara 20-40 detik, di kala cuaca amat cerah. Popularitas film daguerrotype ini berlangsung sekitar 15 tahun (1839-1854).
Di saat Joseph Nicephore Niepce dan Louis Jacques Mande Daguerre melakukan experimen, Fox Talbot dengan pikirannya yang lebih maju sudah mengetahui hubungan negatif-positif. Ia menggunakan bahan kertas untuk dijadikan media peka cahaya yang kemudian menghasilkan gambaran negatif, diberi nama Talbotype (1835). Dari negatif tersebut kemudian dilakukan pencetakan ke atas kertas peka cahaya juga. Namun upaya Talbot tertumbuk pada kenyataan, hasil cetakannya itu tak bisa tajam, malah gambarnya menjadi kabur. Beberapa ahli mengetahui, bahwa seharusnya negatif hasil pemotretan terbuat daripada kaca yang bening, sehingga cetakan foto yang tajam dapat terwujud.
Namun belum ditemukan bahan yang dapat menempelkan bahan-bahan kimia peka cahaya ke atas permukaan kaca. Pernah diciptakan lem dari kuku, juga diketahui bahwa putih telur dapat berfungsi sebagai lem terhadap kaca, namun kedua-duanya tidak dapat dipergunakan. Pada tahun 1850, Scott Archer, seorang pemahat, menciptakan metode yang diberi nama ‘collodian’, disebut juga sebagai ‘proses pelat basah’. Ia menerapkan suatu cara dengan melaburi kaca dengan suatu campuran kimia, yang setelah mengering membentuk lapisan film, menyerupai kulit. Film collodian ini diberi emulsi dengan cara dicelupkan ke dalam larutan kimia peka cahaya. Hal yang merepotkan, bahwa film ini harus dipakai untuk memotret dalam keadaan basah, langsung dimasukkan ke dalam kamera. Lalu setelah tercahayai, segera harus dikembangkan, karena bila bahan-bahan kimianya sudah mengering, ia akan kehilangan kepekaan terhadap cahaya. Pada saat yang hampir bersamaan, lahir juga variasi lain dari proses collodian, ialan ambrotype. Film ini terbuat juga dari kaca, dan diberi selaput dengan emulsi collodian.
Dalam pencahayaan sengaja dibuat tercahayai kurang, agar gambaran yang terbentuk akan amat pucat. Gambaran ini bila dilihat di atas permukaan yang putih akan tampil sebagai negatif yang tercahayai kurang, sedangkan bila dilihat dengan latar belakang yang hitam, gambarannya akan tampil menjadi gambar positif yang memadai. Karena pengerjaannya lebih mudah dan harganya lebih murah, ambrotype secara berangsur-angsur menggantikan daguerrotype. Pada tahun 1870-an lahir tintype, suatu variasi lain dari ambrotype. Perbedaannya adalah tintype terbuat dari timah, bukan kaca. Karena dasarnya timah, maka bagian yang seharusnya putih berubah menjadi keabu-abuan dan kecemerlangannya hilang, baik dibandingkan dengan daguerrotype maupun ambrotype. Harga tintype lebih murah daripada ambrotype, merupakan konsumsi masyarakat kebanyakan. Masih berdasar pada proses collodian, terdapat jugavariasi lain, ialah carte-de-visite, jenis ini menggunakan negatif kaca. Film ini lebih cocok dipakai pada kamera berlensa banyak, misalnya enam atau delapan buah, sehingga sekali potret akan diperoleh banyak foto. Maka dari itu variasi ini disebut “carte-de-visite” yang artinya kira-kira “kartu perkenalan”. Negatif kaca tersebut dapat dicetak berulang-ulang.

Sejak daguerrotype hingga carte-de-visite, semuanya mengharuskan pemotretnya atau pemotretan berdekatan dengan kamar gelap, sebag pelat-pelat peka cahaya tersebut harus dilaburi emulsi dan diproses pada lokasi sekitar atau berdekatan dengan lokasi pemotretan. Baru kemudian setelah ditemukan sistem pembuatan pelat kering oleh George Eastman pada tahun 1880, fotografi memasuki era baru. Dasar pertama untuk menjadikan kering pelat basah adalah dengan menyelaputi permukaan kaca dengan gelatin yang mengandung emulsi foto (bahan peka cahaya). Dengan demikian, kemudian pelat-pelat kaca beremulsi dapat dijual kepada konsumen foto. Pemrosesan pelat yang telah tercahayai tidak harus segera pula, melainkan boleh dilakukan kapan saja.

Sejarah Fotografi Bag 2
Blog, Updated at: 12:32:00 PM

0 comments:

Post a Comment

Copyright © 2014. nubie abdee - All Rights Reserved
Template by seocips.com
Template Published by template.areasatu.com
Powered by A1
Back to top